Pojok-pojok Keislaman
Semakin hari kita semakin diperhadapkan pada tantangan hidup
yang semakin kompleks atas fakta keragaman yang semakin nampak ke permukaan,
tantangan ini tidak hanya terkait dengan kesiapan berkompetisi secara sehat
dalam ragam propesi akan tetapi juga dibutuhkan kesiapan hidup berdampingan
dengan beragam identitas manusia yang berbeda secara budaya, suku, ras sampai
perbedaan agama dan keyakinan.
Kita tidak dapat mengelak bahwa saat ini perkembangan dan
kecanggihan tekhnologi komunikasi, transportasi dan informasi telah membuka
akses yang seluas luasnya pada perjumpaan dengan beragam identitas manusia,
sementara itu pada sisi yang lain kita juga diperhadapkan pada warisan teologi
sektarian dari sekolompok orang yang merasa bahwa hanya kelompoknyalah yang
mendapatkan petunjuk ilahi.
Ekslusivisme
Menjauhkan Keragaman Sosial
Cukup ironi
memang, sebab fakta keragaman sosial ini seringkali tidak berbanding lurus
dengan cara kita menyikapinya, sebagian ummat masih cenderung eksklusif,
menutup diri dengan orang lain sehingga cenderung arogan menganggap diri,
kelompok, suku, agama dan keyakinannyalah yang paling benar dan berhak tumbuh,
berkembang menguasai bumi.
Pada era kemajuan tekhnologi yang semakin pesat kita
saksikan manusia semakin sulit hidup berdampingan, semakin sulit bernafas
bersama di bawa langit yang sama.
Di samping itu penolakan terhadap keragaman banyak hadir
dalam ruang dan bahasa keagamaan dimana tafsir terhadap ayat ayat yang
seharusnya inklusif (terbuka) dibawa pada ruang eksklusivisme (tertutup/menutup
diri).
Padahal Allah swt. sudah menegaskan bahwa
manusia diciptakan dalam keragaman agar bisa saling kenal mengenal (litaarafu) (Q S. Al-Δ€ujurΔt :13).
Apa yang dimaksud lita'arafu? Haidar Bagir memaknai
lita'arafu dengan "agar kamu saling belajar kearifan". Syarat utama
agar kita bisa menghargai keragaman adalah memehami orang lain, sementara dalam
memahami butuh proses belajar. Karena itu, setiap orang setidaknya mencoba
saling belajar kearifan (kearifan lokal) satu sama lain dengan cara mengenali
kebiasaan, budaya ataupun keagamaannya, sehingga terbangun sikap keterbukaan
untuk menerima kelompok lain. Lita'arafu menjadi perantara untuk saling
membantu.
Cukup
memprihatinkan ketika cara pandang keberagamaan yang eksklusif yang biasanya
terlihat dengan kaca mata Fikih, hitam putih, halal haram dan salah benar, ikut
menyeret mereka yang mengaku penempuh jalan kesufian (pelaku sufisme) pada laju
arus yang sama, yakni budaya saling menyalahkan.
Nilai-nilai
Ketuhanan untuk Kemanusiaan
Spritualitas yang
out put-nya semestinya adalah moral akhlak setelah menyerap ruh ilahiah kini
bergeser pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan
permainan citra menyeret jalan spritualitas pada gaya hidup semata bukan
penguatan pada nilai ilahiyah untuk menjaga nilai nilai kemanusiaan, bahkan
terjerembab pada budaya perebutan jama’ah semata.
Spritualitas tidak lagi menumpu pada upaya pendalaman,
penyerapan nilai nilai ketuhanan untuk selanjutnya kita bumikan dalam ruang
akhlakul karimah akan tetapi cenderung mentok pada ritual semata dan tak
memunculkan tumbuhnya kepekaan sosial.
Tidak hanya itu spritualitas yang biasanya tampil dengan
nilai-nilai kebaikan universal, kebaikan yang tak memandang merek, justru
tersandra pada sikap eksklusifitas, terkungkung pada egoisme bahwa kebaikan
hanya untuk kolompok atau yang seidentitas dengannya.
Tuhan pun hanya dipandang sebagai bahan komoditi untuk
memuluskan keinginan duniawi, Tuhan akhirnya tak lagi bisa ditemukan di tempat
lain kecuali pada bangunan yg kita sebut mesjid semata.
Nilai-nilai kebaikan Universal hanya lantang terdengar di mimbar-mimbar khotbah, disampaikan dengan
penuh semangat mengajak pada cinta universal, cinta yang tampil dengan wajah
dan kebaikan seperti matahari yang menyinari manusia tanpa pandang bulu.
Akan tetapi di tengah intesitas seruan itu kita justru
mendapati fakta sosialnya bahwa cinta manusia tidak se-universal itu, manusia
cenderung mengembangkan ekspresi cintanya pada orang lain yang punya kesamaan nilai, kedekatan identitas, bahkan
kedekatan ciri-ciri fisik.
Kita pun tidak jarang menemukan manusia saling sikut berebut
jabatan, dengan cara yang kotor dan saling menjatuhkan dibumbuhi dengan bahasa
Agama, kesamaan suku, ras dan budaya. Manusia tidak lagi melihat pada kemampuan
secara professional, akan
tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh
dorongan tekanan karna kedekatan identitas.
Kemanusiaan Sebelum
Sikap Religius
Akhirnya, Agama
yang semestinya melahirkan empati sosial, terhadap orang yang hidupnya sedang kurang beruntung justru
datang membunuh belas kasih terhadap sesama yang sedang menderita.
Teringat apa yang pernah dipesankan Gus Dur , "Tidak penting apa agama dan sukumu,
kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua manusia, maka orang
tidak pernah tanya apa agamamu."
Kebaikan seperti inilah yang semestinya terus kita rawat
dalam ruang kemajemukan yang semakin plural. Sebab agama tak pernah memandang
dan membedakan derita kemanusian untuk kita pilih dalam membantunya.
Seperti kata Muslim Abdurrahman, "Kemanusiaan itu satu, seperti juga
lapar. Tidak ada lapar secara Islam. Tidak ada lapar secara Kristen.”
Dalam Hadist Qudsi Allah swt. Berfirman, "Carilah Aku ( ALLAH ) diantara orang
orang yang hancur hatinya, bantulah mereka, ringankan deritanya".
Di manapun kita menemukan perut yang lapar di sanalah
semestinya kita sebagai manusia hadir untuk memberi cinta, tak ada lagi sekat
pemisah saya Islam, kamu kristen. Demikianlah sesungguhnya Agama cinta,
kebaikannya universal tak memandang identitas yang melekat.
Seperti kata Imam Ja’far Shadiq, “Hal al-din illa al-hubb?” (Apalagi agama itu
kalau bukan cinta?) Sejalan dengan ini ialah sabda Nabi, "al-hubb
asasi" (Cinta adalah asas(agama)ku).
Penulis: Subhan Saleh
Editor: Rustan
0 komentar