Open top menu
Kamis, 28 Mei 2020

Aib dan Kita | Intersisi News
foto: intersisinews.com

Aksi saling menjatuhkan di medsos kian hari semakin memprihatinkan. Seolah menjadi trend baru yang diminati banyak orang, tua-muda, kaum intelektual-awam bahkan agamawan hingga preman. 
Waktu habis terkuras merawat kebencian, mencari aib dan kesalahan yang berbeda agama, aliran, kelompok, madzhab, organisasi, suku, ras dan budaya bahkan makanan. Hampir tak ada lagi waktu mengurus aib dan kesalahan sendiri. 

Sikap sebagian orang dalam bermedia sosial kini semakin jauh dari kata beradab. Apalagi ketika melihat aib dan kekeliruan orang lain, ia langsung bersemangat untuk meghujat dan membullynya habis-habisan tanpa ada sedikit pun niat klarifikasi terlebih dulu. Perilaku tak terpuji tersebut seakan memberikan gambaran bahwa tak ada lagi ruang dan kesempatan untuk saling memperbaiki dan mengingatkan dengan cara bijak. Semua dipermalukan tanpa ampun.

Ironisnya justru kalangan yang mengaku terpelajar pun terkadang  begitu bersemangat ikut-ikutan menyebarluaskan aib orang lain meskipun dia tidak sadar bahwa sesungguhnya dia sedang menikam diri sendiri. Mungkin dia lupa bahwa seorang pencuri sandal akan bertambah menjadi dua pelakunya ketika kita jiga ikut  melampiaskan kekesalan dengan mencuri sandal orang lain. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering menemukan ketidakadilan bersikap, misalnya kita begitu toleran saat melakukan kesalahan, tetapi kalau yang melakukan kesalahan tersebut adalah orang lain, maka semua kosakata sampah keluar dari mulut. Dan saat tiba gilirannya untuk dinasehati atau dikritik, justru kita bersikap menentang dan dengan gaya sombong berusaha mencari pembenaran.

Seringnya kita merasa benar sendiri dengan pendapat masing-masing yang merupakan nama lain dari sifat egois masih menjadi penyakit hati yang tak kunjung sembuh. Yang lebih mengherankan penyakit ini banyak menjangkiti orang-orang yang katanya berpendidikan dan berintelektual.

Memang sesak rasanya saat diri dinasehati oleh orang lain, apalagi kalau levelnya lebih rendah dibanding kita (menurut perasaan), karena pada dasarnya tak ada orang yang ingin disalahkan. Maka sebelum mencubit, cubitlah diri sendiri lebih dulu biar kita tahu rasa sakit sebuah cubitan.

Patut juga direnungkan bahwa orang yang sibuk memperhatikan aib orang lain karena kurang kerjaan menyebabkan dia tidak pernah mempunyai waktu untuk mengetahui aibnya sendiri.

Ada sebuah nasehat dari seorang bijak yang bisa kita praktekkan: "Jika engkau tak sengaja mendengar orang lain kentut di sampingmu dan dia curiga kalau engkau mendengarnya, maka berpura-puralah menjadi tuli di depannya. Agar kehormatannya tetap terjaga dan air mukanya tidak dipertaruhkan demi menanggung malu".

Kita mesti menyadari bahwa seseorang dipandang baik karena Tuhan masih berkenan menutupi aib dan segala kebusukan perbuatan kita di hadapan makhluk. Karena itu, latihlah diri mengatakan "pendapatku benar tapi mungkin juga ada salahnya dan pendapat orang lain salah tapi mungkin juga ada benarnya". Semoga dengan demikian kita mampu lebih pandai merasa, bukan merasa pandai sendiri.

Agama mengajarkan kita agar tidak terlalu jumawa memasang harga diri, karena semua orang punya aib. Sebaliknya, jangan pula terlalu bernafsu merendahkan orang lain, sebab semua orang punya harga diri dan kesempatan untuk berbuat baik. Bahkan fir'aun pun yang pernah mendaulat diri sebagai tuhan masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertobat.

Ketahuilah, seseorang yang mampu mencari dan menemukan kesalahan orang lain itu jumlahnya banyak sekali. Namun orang yang mampu memperbaiki dan berbuat sesuatu untuk menutupinya amatlah jarang. 

Begitulah kondisi kita dewasa ini dalam berinteraksi di dunia maya. Teramat banyak yang mahir mengkritisi dan mencela, tapi tak satu pun yang datang dengan nasehat dan solusi. 

Kejahatan dan pelaku kejahatan memang patut dibenci dan dijauhi, tetapi haruskah kita ikut-ikutan berbuat hal konyol dalam membenci pelakunya? 

Kita mesti hati-hati jangan terlalu semangat menggoreng kesalahan seseorang, karena, sekali lagi kita semua juga memiliki segudang aib dan kesalahan. Sebab kita pasti tidak terima jika suatu saat nanti kita diperlakukan sama bahkan lebih parah dari yang pernah kita lakukan.

Seyogyanya bagi siapapun harus berlaku wajar ketika membenci, karena setiap orang mempunyai rahasia pribadi yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Setiap orang tentu akan marah ketika mengetahui bahwa rahasia pribadinya dibeberkan kepada orang lain.

Imam Ali as. berkata: "jangan sibuk melempari rumah orang lain, jika rumahmu sendiri terbuat dari kaca.

Penulis: Hamzah, S.P.d.I
Editor: As'ad Sattari
Tagged

0 komentar