Open top menu
Selasa, 26 Mei 2020



Kemajuan Teknologi dan Moralitas | Republika Online
Foto; Republika

Kita memahami bersama bahwa setiap zaman melahirkan "anaknya" masing-masing. Begitu juga dengan generasi. Setiap generasi memiliki julukannya masing-masing. Perubahan memang menjadi sebuah keniscayan, di saat generasi enggan mewarisi pola kehidupan pendahulunya, maka yang akan terjadi adalah mutasi kebudayaan dan akan berakhir dengan alasan "kemajuan".  

Hari ini kita menyaksikan zaman kembali melahirkan generasi digital atau generasi yang melek teknologi. Bahkan, saking meleknya sampai ada yang menyebutnya dengan nada sentilan sebagai generasi alay atau lebay. Sebagian besar waktu generasi ini dihabiskan dengan senam jari tanpa mengenal tempat dan mereka sering memposting momen-momen alay dengan gaya lebay, narsis membahana seperti ikan arwana dengan bumbu tawa membahana pula bak rahwana.

Pada zaman ini, terlihat jelas perilaku manusia tidak selalu sejalan dengan kemajuan berpikirnya. Semakin maju zaman dan pola pikir ternyata tidak serta merta bisa merubah pola perilaku manusia. Kebanyakan masih cenderung ikut-ikutan pada orang banyak dan asal-asalan dalam menilai sesuatu ketimbang menyelidikinya terlebih dahulu. Padahal apa yang dinilai oleh orang banyak belum tentu benar adanya. 

Kalau diamati, di jagat maya setidaknya ada dua tipe manusia, yaitu, yang mudah baper dan mati rasa. Tipe pertama adalah tipe yang suka sensitif dan suka bertingkah seperti itik. Biasanya tipe ini hanya ikut-ikutan terbawa perasaan ketika ada kritikan atau sentilan, dia selalu merasa dirinya yang disorot entah itu hal positif atau negatif. Tingkahnya seperti itik. Kata orang, ciri khas dari itik adalah jika seekor itik mendengar itik lain berkoak-koak bising, maka ia akan ikut berkoak-koak tanpa tahu apa yang dikoakkan temannya itu. Jika seekor itik bergerak menuju pemotongan ternak, maka itik yang lain akan mengikutinya, mungkin karena terlalu baper melihat temannya sehingga dia ikut-ikutan.  Singkatnya, lain yang digaruk, lain pula yang gatal. 

Bisa jadi tipe pertama ini terlalu over dosis berita hoax, malas menggali informasi yang baik dan ditambah lagi dengan bumbu kecanduan sinetron kali ya..! 
Kalau memang demikian adanya, jangan heran kalau nuansa baper kental rasanya di dunia maya.

Tipe kedua adalah tipe manusia yang kehilangan rasa dan kesadaran serta kepekaan dalam dirinya, yang mengakibatkan munculnya sikap individualistik dan apatis. Tipe ini tak mau peduli dengan apa yang dia lakukan, tidak pernah memikirkan orang-orang di sekitarnya. Dan yang lebih parah adalah tak pernah merasa bersalah meskipun telah nyata melakukan kesalahan bahkan telah memfitnah orang lain sekalipun.  Dia seolah tak peduli walau kritikan di sana-sini menyerangnya.

Meningkatnya pengguna sosmed membuat generasi sekarang menjadi selfish, tukang bully, tanpa rasa empati dan sesuka hati melakukan persekusi. Kebiasaan buruk lain di medsos membentuk penurunan inteligensia, empati dan rasa kemanusiaan. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya kesiapan mental dalam mengelolah informasi di medsos.

Memang sangat disayangkan, ketika akses informasi semakin mudah, justru semakin banyak melahirkan kebodohan baru. Banyak manusia yang hilang kesadaran dalam berinteraksi. Semakin banyak pula bermunculan manusia aneh yang kelihatan pintar dan hobi memicu perpecahan dan memperburuk situasi. Semua orang kelihatan paham terhadap suatu persoalan terlebih ketika berkomentar di medsos dengan gaya seorang pakar. Padahal sebenarnya mereka tak paham sama sekali. 

Dengan hadirnya teknologi digital dan internet membuat kita tidak bisa memungkiri bahwa kita sepertinya telah dijajah oleh ciptaan sendiri, misalnya HP yang awalnya dibuat untuk memudahkan kita berkomunikasi dengan orang lain kapan pun dan di mana pun kita berada, tetapi seiring berkembangnya teknologi HP justru cenderung merampas privasi seseorang terlebih ketika mulai masuk di dunia Maya. Hampir tak tersisa ruang untuk privasi di sana. 

Melihat realita tersebut, sepertinya telah terjadi serangan balik dari semua hal yang telah diciptakan manusia sendiri. Kini teknologi benar-benar dikhawatirkan akan menjadi senjata pembunuh "kemanusiaan" yang sangat mematikan bagi pemiliknya. Hilangnya rasa dan kepekaan dalam bermedsos ini memang termasuk gejala psikologis. Imunitas mental kita dalam berinteraksi di dunia maya masih sangat lemah, sehingga gaya bermedsos kita banyak menghasilkan generasi yang amoral, baperan, norak, kagetan, lebay dan mati rasa. Penggunaan teknologi digital yang semakin tak terkontrol  semakin membuat manusia lupa menjadi manusia, hingga tak ada kata bjiak dan beradab dalam berinteraksi. 

Untuk meminimalisir efek negatif dari pola hidup yang semakin tak beradab ini, maka mulailah dari sekarang mengenali manusia dan lingkungan serta bekali diri dengan pengetahuan dan wawasan. Kuatkan rasa peduli dengan saling mengingatkan tentang etika, bukan dengan menjatuhkan atau menghakimi seseorang hanya karena mereka mungkin berbeda dosa dengan kita.

Oleh: Hamzah, S.Pd.I
(Guru/Alumni Pesantren Nuhiyah Pambusuang)
Editor: As'ad Sattari
Tagged

0 komentar