Open top menu
Minggu, 24 Mei 2020

Lebaran dan Pesan Perdamaian - kumparan.com
(foto; kumparan.com)
Sejak dahulu hingga sekarang, dunia terus diwarnai konflik dan ketegangan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Tragedi yang terjadi antara Qabil dan Habil telah menjadi contoh yang tidak baik bagi generasi dan keturunannya. Dalam sudut pandang teologi Islam, Qabilisme sebagai simbol kejahatan dan habilisme sebagai simbol kebajikan merupakan isyarat dari Tuhan bahwa pertentangan antara kejahatan dan kebajikan selamanya akan terus berlangsung seiring kehidupan manusia itu sendiri. Persis dalam hidup ini, ada kalanya kita dan orang terdekat berada dalam situasi yang sulit. Hal tersebut terkadang menyebabkan kita mengatakan atau melakukan hal-hal yang menyinggung perasaan orang lain. Begitu pun, sering terjadi perbedaan pendapat bahkan konflik karena sudut pandang yang beragam. Memang tidak mudah untuk memaafkan, tapi kita bisa mencoba dan membebaskan diri sendiri dari semua perasaan negatif yang mengungkung batin. 

Sebelum kita menyesal di kemudian hari, sebaiknya kita mencoba untuk saling memaafkan dan melupakan yang telah berlalu. Kita harus tetap menjaga persaudaraan dan persahabatan. Jangan sampai hanya karena perbedaan pandangan pada hal-hal kecil, akhirnya kita saling tegang dan bermusuhan satu sama lain. Persaudaraan sebagai manusia harus lebih diutamakan diatas segala perbedaan pandangan. Sebab membangun persaudaraan jauh lebih sulit daripada menciptakan permusuhan. Lebih baik kita memaafkan dan hidup dengan tentram dan damai. Buat apa kita mendendam? Alangkah indahnya jika  kita saling memaafkan karena hidup kita akan lebih damai dan harmonis karenanya.

Andaikata ada ucapan yang pernah melukai, perbuatan yang tak berkenan, dan diam membawa prasangka, maka sebaiknya kita berbesar hati untuk saling memaafkan agar ringan melangkah dalam kehidupan. Kita sembuhkan luka-luka emosi yang pernah tergores, agar kita bisa belajar menjadi pribadi yang bijaksana dan terhormat dengan memaafkan kesalahan orang lain. 

Salah satu momentum yang sangat baik untuk kita terus jaga dan lestarikan adalah suasana Hari Raya atau lebaran seperti yang kita rasakan saat ini. Kata lebaran dalam bahasa Mandar disebut dengan istilah pallappasang yang bisa diartikan sebagai penyerahan, pelepasan, melepaskan, merelakan,  atau menanggalkan. Saya menduga bisa jadi kata ini dipilih dengan harapan semoga di hari lebaran kita terlepas dari segala dosa, baik dosa kepada Tuhan maupun kepada sesama. Dengan lebaran kita juga diharapkan dapat menanggalkan sifat binatang yang ada dalam diri sebagaimana kita menanggalkan pakain di badan kita yang terkena kotoran. 

Pemaknaan lebaran hendaknya bersifat positif seperti menjalin silaturrahmi sebagai sarana membebaskan diri dari dosa yang bertautan antar sesama manusia. Ketika kita telah belajar untuk saling memaafkan di moment lebaran, hendaknya hal itu juga menjadi kebiasaan di lain waktu. Suasana saling memaafkan yang secara formal biasa disebut halal bi halal tentu akan menjadi pemandangan yang sangat indah jika itu diaplikasikan dan dilestarikan tidak hanya di moment lebaran, tetapi juga di hari-hari selanjutnya agar solidaritas sosial terus terbarukan. Solidaritas sosial yang diperbaharui terus-menerus setiap saat dapat memfasilitasi menguatnya modal sosial masyarakat demi terwujudnya kedamaian sesama makhluk. Andaikan saja manusia mampu menjadikan semua hari adalah lebaran, maka sesungguhnya manusia telah merasakan kedamaian "surga" di bumi.

Dengan begitu,  kita berharap semoga suasana  lebaran atau pallappasang semakin dapat meningkatkan kesehatan mental dan kesadaran kita dalam beragama dan saling menerima perbedaan dengan hati yang lapang agar kita bisa menjadikan agama sebagai solusi damai dalam perbedaan, bukan justru dipreteli lalu dijadikan sebagai kawasan konflik dan fitnah.


Oleh: Hamzah, S.Pd.I
(Alumni/Guru Pesantren Nuhiyah Pambusuang) 
Editor: As'ad Sattari
Tagged

0 komentar